Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Jimly Asshidieqie Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/ MKMK ( lembaga yudikatif ) yang diangkat menjadi Ketua MKMK melalui artikel ini dirasa perlu untuk publik ketahui, bahwa Jimly juga memiliki status jabatan sebagai anggota legislatif di DPD RI
Dan dalam hal Jimly sebagai ketua MKMK 100 %, dipastikan tidak akan membuat putusan sesuai fungsi utilitas atau manfaat hukum ( doelmatigheit ) atau daya guna, karena tidak akan dapat melahirkan fungsi hukum lainnya, yakni kepastian hukum (rechtmatigheit) dan fungsi keadilan (gerechtigheid)
Apa sebabnya ?
Bahwa, diantara tugas dan kewenangan dewan etik melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/ MKMK menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim, adalah :
" Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim serta kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi,. supaya Hakim Konstitusi tidak melakukan pelanggaran ".
Serta catatan penting hukum lainnya yang perlu publik camkan daripada Surat Keputusan No. 9/ PMK/ 2006 a quo, tersebut, bahwa ; " Dewan Etik tidak berwenang memproses dan memeriksa laporan dari masyarakat yang meminta Dewan Etik menganulir putusan Mahkamah Konstitusi.
Maka oleh karenanya lacur, ada catatan penting hukum lainnya bahkan secara hirarkis norma hukum ( rules ) lebih tinggi daripada kode etik a quo, yang justru bakal overlapping ( tumpang tindih ) dengan isi Surat Keputusan No. 9/ PMK/ 2006 dimaksud, jika potensial kepastian subtantif hukumnya, jika dikomparasi dengan Pasal 17 ayat 3 sampai dengan 7 UU. RI. No. 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang jika dirangkum akan berbunyi demikian ;
" Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud adanya hubungan kekeluargaan ( konflik interes) maka putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. Dan Perkara sebagaimana dimaksud diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda ".
Maka tidak keliru, jika Denny Indrayana menyatakan bahwa, putusan yang Hakim MK nya Anwar Usman adalah merupakan peristiwa hukum yang batal demi hukum, oleh sebab hukum acara pelaksanaan persidangan melanggar kode etik hakim MK. Dikarenakan faktual, bahwa Anwar Usman merupakan seorang hakim ( ketua majelis ) dalam menyidangkan sebuah perkara, yang dirinya secara hukum memiliki hubungan kekeluargaan dengan Jokowi presiden RI dalam garis semenda dan objek perkara mengenai kepentingan anak dari Jokowi, yaitu Gibran Rakabumi Raka Bin Jokowi, sehingga Gibran merupakan keponakan kandung dari istri dari Anwar Usman atau sebagai keponakan dari Anwar Usman akibat perkawainan, dengan Idayati adik Kandung Jokowi selaku Presiden RI. Sehingga Anwar Usman, terhalang secara kode etik hakim MK maupun merujuk UU. RI. No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun nyatanya, jika Jimly, ngotot menggunakan ketentuan kode etik hakim konstitusi, terlebih Jimly yang jabatan publiknya mimikri, sebagai legislatif juga sebagai yudikatif, sudah mempublis statemen hukumnya, " MKMK bukan untuk memutuskan tentang permasalahan sahnya putusan MK. Namun terbatas hanya untuk dan terkait pelanggaran etika hakim ".
Maka, 100 % putusan MKMK yang akan diketuai Jimly, Tidak akan memuaskan dahaga umat akan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat pada bangsa ini, oleh sebab hukum yang akan digunakan sebagai asas legalitas putusan kenyataannya dualisme ' suka - suka mana maunya , hakim, bukan mana yang berkeadilan, karena sistimnya ambigu, " identik dengan kepribadian mayoritas pejabat publik kontemporer yang hipokrit, yang hobinya banyak menipu sambil melakukan praktik pembodohan kepada masyarakat bangsa ini pada umumnya "